Kisah Sate Matang dari Bireuen Aceh, Apa Keunikannya?
Sate Matang Kluner Menggugah Selera Khas Aceh – Di tempat itu, asap arang mengepul dengan pelan namun pasti, menyelimuti udara sekitar, saat potongan dadu daging kambing dan sapi ditusuk rapi pada bambu. Aroma yang khas langsung menyapa setiap hidung yang ada di sana, mengundang rasa lapar yang tak tertahankan. Proses pemanggangan dengan arang tradisional tersebut tidak hanya menciptakan rasa yang autentik, tetapi juga membawa pengalaman yang memanjakan indra penciuman. Setiap hembusan angin membawa wangi menggugah, mengajak semua yang berada di sekitar untuk menikmati hidangan lezat yang dipersiapkan dengan penuh keterampilan dan cinta dari para pengrajin kuliner.
Asal Mula Nama Sate Matang
Nama Sate Matang bukanlah berasal dari proses memasaknya hingga matang, melainkan dari asal daerah di mana hidangan ini pertama kali diperkenalkan. Sejak tahun 1990-an, sate ini berasal dari Matangglumpang Dua, sebuah wilayah yang kini dikenal sebagai rumah dari sate legendaris tersebut. Nama unik ini justru menambah daya tarik tersendiri bagi para penikmat kuliner yang penasaran akan sejarahnya. Meskipun terdengar sederhana, kelezatan Sate Matang terletak pada kombinasi rempah khas Aceh yang meresap sempurna dalam setiap potongan dagingnya, membuatnya menjadi ikon kuliner Aceh yang tak terlupakan.
Area itu kesohor sebagai pusat kuliner di Kabupaten Bireuen. Selama 24 jam, ia nyaris tak pernah tidur. Ada saja pelintas antar-kota yang singgah.
Kebanyakan dari mereka bermaksud beristirahat sambil menikmati hidangan Sate Matang. Tak heran jika hampir di beberapa warung kopi di Matangglumpang Dua tidak hanya menyediakan kopi saja, tapi juga sate ini.
Salah satu mahasiswa Universitas Syiah Kuala asal Kabupaten Aceh Tamiang, Sri Atina Putri mengatakan, dirinya kerap menikmati kelezatan sate matang langsung di tempat asal sate ini.
Ia berpendapat, Sate Matang yang disantap langsung di tempat asalnya memiliki cita rasa yang jauh lebih nikmat dibandingkan jika dinikmati di daerah lain. Keaslian bumbu, cara pengolahan, serta suasana lokal membuatnya menjadi pengalaman kuliner yang tak bisa ditiru di tempat lain.
Jarang sih makan Sate Matang, biasanya cuma pas pulang kampung. Tapi rasanya jauh lebih nikmat kalau disantap di tempat asalnya,” ujarnya. Bagi dia, kelezatan autentik Sate Matang hanya benar-benar terasa saat dinikmati di kampung halaman, memberikan pengalaman kuliner yang istimewa.
Keunikan Sate Matang Saat di Santap
Selain rasanya yang enak, keunikan dalam penyajian sate ini juga menjadi daya tarik tersendiri, seperti para pembuatnya yang akan membanting botol kecap ke atas meja ketika akan menghidangkan sate.
Salah satu pedagang Sate Matang, Zulfikar, ketika ditanya alasannya membanting botol kecap, ia mengatakan, sebenarnya mereka tidak memiliki alasan khusus, hanya untuk menjadikannya terlihat lebih menarik, seperti lebih banyak pelintas yang berkunjung karena penasaran, dan lain sebagainya.
“Kalau untuk banting kecap itu, sebenarnya nggak ada maksud apa-apa. Cuma biar keliatan lebih unik. Lebih buat orang penasaran,” katanya.
Awalnya bahan utama Sate Matang adalah daging kambing, kemudian seiring berjalannya waktu, banyak pedagang yang beralih menggunakan daging sapi, meskipun demikian tetap ada di beberapa tempat yang masih menyajikan berbahan daging kambing.
Proses pembuatan ini sendiri sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sate-sate pada umumnya. Hanya saja, dari segi rasa serta penyajiannya yang sedikit berbeda. Sate Matang tidak hanya disajikan dengan bumbu kacang saja, akan tetapi juga dilengkapi dengan kuah soto.
Sebelumnya, telah lebih dulu dilumuri bumbu yang kaya akan rempah-rempah. Kemudian dibakar di atas bara arang sekitar lima belas menit.
Untuk kuah sotonya, biasanya menggunakan kaldu daging sapi atau kambing yang dimasak dengan bumbu khusus. Di dalam kuah soto ini biasanya terdapat potongan lemak daging dan juga kentang.
Dari segi rasa, memiliki rasa manis dengan perpaduan kuah soto yang gurih.
Perpaduan rasa yang khas ini kemudian menarik pecinta kuliner untuk mencobanya. Sate dapat dinikmati hanya dengan mengeluarkan uang senilai Rp25.000 per porsinya atau Rp3.000 per tusuknya.
Banyaknya peminat sate ini, pedagang biasanya menghabiskan sepuluh kilogram daging sapi setiap harinya, dan akan meningkat ketika sedang musim mudik. “Biasanya kami setiap hari menghabiskan sepuluh kilogram daging sapi. Mungkin bertambah kalau musim mudik,” kata Zulfikar.